
Oleh: Noval Maliki
Ide pakaian “special” yang digulirkan KPK bagi para terpidana korupsi beberapa waktu lalu disambut positif berbagai kalangan. ICW bahkan mengajukan delapan model sekaligus ke KPK.
Tujuannya menimbulkan efek jera bagi pelaku, sekaligus membuat orang lain berpikir seribu kali untuk melakukan hal serupa. Problemnya kemudian adalah bagaimana jika dengan pakaian yang istimewa tersebut tidak mampu membuat jera para pelaku kejahatan yang menyengsarakan jutaan rakyat tersebut?.
Maklum jangankan di depan manusia, di hadapan Tuhan pun manusia Indonesia sering over-confident dan dikenal tak tahu malu, buktinya banyak koruptor yang bergelar haji, menipu orang lain dengan mengutip dalil-dalil agama entah untuk kepentingan politik, ekonomi atau sekedar status sosial pribadi. Lebih parah lagi tidak sedikit yang menggunakan uang korupsi untuk berkunjung ke “rumah” Tuhan.
Nampaknya bangsa ini, terutama penegak hukumnya, perlu belajar dari para petani dalam membasmi tikus.
Belajar dari petani
Di negeri ini tidak ada yang memiliki “musuh” sebanyak petani. Mulai dari kebijakan pemerintah atau Undang-undang yang tidak memihak bahkan merugikan. Perusahaan air mineral raksasa yang menguras habis debit air untuk lahan persawahan seperti terjadi di Klaten, Jawa Tengah. Para penimbun pupuk yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan barang dan otomatis harganya melambung.
Para tengkulak beras yang terkadang menawar harga, baik padi maupun beras, sangat murah namun menjual ke konsumen dengan harga selangit. Penyerobotan lahan, yang dilakukan oleh individu-perusahaan maupun instansi pemerintah dan didukung pengadilan, sehingga membuat petani terusir dari tanah garapannya sendiri warisan nenek moyang mereka. Dan musuh yang paling popular adalah hama, terutama tikus (Rattus argentiventer).
Di antara hama-hama lain, seperti keong mas, ulat, belalang maupun wereng, tikus termasuk yang sulit diberantas. Maklum dalam beroperasi tikus menganut sistem ”perang gerilya”, ala pejuang kemerdekaan nan gagah berani dan berjasa besar terhadap Republik ini, yang berpindah-pindah dari satu teritori ke teritori lain. Selain itu, tikus juga menyerang kala padi siap dipanen atau minimal padi yang telah berusia 40 hari sehingga menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Biasanya dalam menangani hama cerdas seperti tikus, para petani menggunakan strategi spesial dan dilakukan secara bertahap. Pertama, Umumnya langkah awal yang dilakukan menggunakan pupuk pestisida atau belerang. Tekniknya di Jawa dikenal dengan nama emposan, yakni pengasapan areal persawahan dengan menggunakan belerang. Namun karena gerakan petani cenderung sporadis dan tidak terorganisir strategi ini sering mengalami kegagalan.
Kedua, menggunakan musuh alami dari tikus seperti ular dan burung hantu. Selain diuntungkan dengan berkurangnya populasi tikus, juga menjaga ekosistem di areal pesawahan. Problemnya bagaimana bila kemudian tikus-tikus ini memiliki badan yang lebih gemuk dan besar sehingga membuat takut para predatornya dan burung hantu berpikir ulang untuk memangsanya?.
Ketiga, memutus siklus. Seminggu setelah panen sebelumnya para petani biasa mengganti jenis tanaman. Biasanya dengan sayuran seperti mentimun, tomat, kacang panjang hingga kacang kedelai. Selain untuk memenuhi kebutuhan pasar biasanya hal ini dilakukan sebagai strategi memutus siklus perkembangbiakan tikus. Problemnya kemudian tikus dikenal sebagai binatang yang cepat berkembang biak, lalu bagaimana bila strategi ini juga gagal?
Keempat, Geropyokan. Cara ini bisa dibilang merupakan strategi pamungkas bila semua strategi pembasmian yang ditempuh tidak menuai hasil, yaitu para petani mengorganisir diri dan melakukan pembasmian secara besar-besaran menangkapi tikus dengan tangan seusai panen atau sebelum penanaman benih secara bersama-sama. Setelah itu, plastik polybag setinggi lebih kurang 40 sentimeter dipasang mengelilingi tanaman padi di sisi dalam pematang. Dengan begitu, tikus yang masuk ke wilayah penanaman padi tergelincir karena permukaan palstik yang licin.
Tikus berdasi
Dari strategi petani tersebut kita mendapatkan jurus ampuh bagaimana membasmi ”tikus berdasi”. Pertama, ciptakan perangkat hukum yang betul-betul berwibawa sehingga dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh. Banyak kelakar yang memilukan bagaimana hukum di jalankan di negeri ini, misalnya, lebih baik mencuri milyaran rupih daripada ”Cuma” nyolong ayam atau mencopet, sudah dapat bogem mentah aparat hukuman yang diberikan pun tidak berbeda jauh dengan penilap milyaran. Lalu bagaimana kalau undang-undangnya tersedia tetapi aparatnya masih bebal dan tidak tahu terima kasih?
Kedua, menciptakan institusi khusus yang sui generis menjadi musuh ”tikus-tikus berdasi”. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa jadi merepresentasikan strategi ini. Lalu bagaimana bila KPK hanya mampu mengurusi ”tikus-tikus berdasi” kelas teri, dan tidak mampu menyentuh ”tikus-tikus besar” sehingga rakyat kembali dikecewakan sebagaimana halnya oleh Kejaksaan dan Kepolisian?
Ketiga, Revolusi. Langkah pamungkas inilah yang harus dilakukan oleh rakyat untuk membasmi ”tikus-tikus” tersebut. Ketika lembaga-lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif kehilangan kredibilitas di mata rakyat, pemilik sejati republik ini, maka rakyat harus mengorganisasikan dirinya entah dimobilisasi para tokoh adat atau agama maupun kalangan intelektual untuk melakukan people power secara besar-besaran dalam rangka membersihkan negara dari ”tikus-tikus” yang merusak.
Setelah tumbangnya rezim ”tikus” ini, kemudian merumuskan ulang hukum-hukum negara yang mampu menutup celah masuknya atau lahirnya kembali tikus-tikus yang merusak negara. Setelah revolusi, tatanan kembali di bangun.
Tentu saja memberantas ”tikus berdasi” jauh lebih sulit daripada tikus sawah. Bukan hanya tingkat kecerdasan dan kecanggihan strategi dalam menyelamatkan diri yang hebat, “tikus” berdasi ini juga terkadang memiliki “kesaktian” dalam merubah wujud seolah-olah petani, yang nota-bene musuhnya, sehingga banyak yang terkecoh.
Kekuatan finansial mereka, yang hasil curian, memungkinkannya untuk membayar tokoh agama, adat hingga intelektual kampus sehingga dipastikan revolusi yang merubah nasib rakyat tidak akan benar-benar terjadi. Hasilnya saya harus menyerahkan kepada Tuhan dan setuju dengan Sukardi Rinakit (2008) dengan Gusti ora sare-nya, entah karena pesimis dengan perubahan atau sekedar memelihara kesadaran tetap terjaga.
Ide pakaian “special” yang digulirkan KPK bagi para terpidana korupsi beberapa waktu lalu disambut positif berbagai kalangan. ICW bahkan mengajukan delapan model sekaligus ke KPK.
Tujuannya menimbulkan efek jera bagi pelaku, sekaligus membuat orang lain berpikir seribu kali untuk melakukan hal serupa. Problemnya kemudian adalah bagaimana jika dengan pakaian yang istimewa tersebut tidak mampu membuat jera para pelaku kejahatan yang menyengsarakan jutaan rakyat tersebut?.
Maklum jangankan di depan manusia, di hadapan Tuhan pun manusia Indonesia sering over-confident dan dikenal tak tahu malu, buktinya banyak koruptor yang bergelar haji, menipu orang lain dengan mengutip dalil-dalil agama entah untuk kepentingan politik, ekonomi atau sekedar status sosial pribadi. Lebih parah lagi tidak sedikit yang menggunakan uang korupsi untuk berkunjung ke “rumah” Tuhan.
Nampaknya bangsa ini, terutama penegak hukumnya, perlu belajar dari para petani dalam membasmi tikus.
Belajar dari petani
Di negeri ini tidak ada yang memiliki “musuh” sebanyak petani. Mulai dari kebijakan pemerintah atau Undang-undang yang tidak memihak bahkan merugikan. Perusahaan air mineral raksasa yang menguras habis debit air untuk lahan persawahan seperti terjadi di Klaten, Jawa Tengah. Para penimbun pupuk yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan barang dan otomatis harganya melambung.
Para tengkulak beras yang terkadang menawar harga, baik padi maupun beras, sangat murah namun menjual ke konsumen dengan harga selangit. Penyerobotan lahan, yang dilakukan oleh individu-perusahaan maupun instansi pemerintah dan didukung pengadilan, sehingga membuat petani terusir dari tanah garapannya sendiri warisan nenek moyang mereka. Dan musuh yang paling popular adalah hama, terutama tikus (Rattus argentiventer).
Di antara hama-hama lain, seperti keong mas, ulat, belalang maupun wereng, tikus termasuk yang sulit diberantas. Maklum dalam beroperasi tikus menganut sistem ”perang gerilya”, ala pejuang kemerdekaan nan gagah berani dan berjasa besar terhadap Republik ini, yang berpindah-pindah dari satu teritori ke teritori lain. Selain itu, tikus juga menyerang kala padi siap dipanen atau minimal padi yang telah berusia 40 hari sehingga menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Biasanya dalam menangani hama cerdas seperti tikus, para petani menggunakan strategi spesial dan dilakukan secara bertahap. Pertama, Umumnya langkah awal yang dilakukan menggunakan pupuk pestisida atau belerang. Tekniknya di Jawa dikenal dengan nama emposan, yakni pengasapan areal persawahan dengan menggunakan belerang. Namun karena gerakan petani cenderung sporadis dan tidak terorganisir strategi ini sering mengalami kegagalan.
Kedua, menggunakan musuh alami dari tikus seperti ular dan burung hantu. Selain diuntungkan dengan berkurangnya populasi tikus, juga menjaga ekosistem di areal pesawahan. Problemnya bagaimana bila kemudian tikus-tikus ini memiliki badan yang lebih gemuk dan besar sehingga membuat takut para predatornya dan burung hantu berpikir ulang untuk memangsanya?.
Ketiga, memutus siklus. Seminggu setelah panen sebelumnya para petani biasa mengganti jenis tanaman. Biasanya dengan sayuran seperti mentimun, tomat, kacang panjang hingga kacang kedelai. Selain untuk memenuhi kebutuhan pasar biasanya hal ini dilakukan sebagai strategi memutus siklus perkembangbiakan tikus. Problemnya kemudian tikus dikenal sebagai binatang yang cepat berkembang biak, lalu bagaimana bila strategi ini juga gagal?
Keempat, Geropyokan. Cara ini bisa dibilang merupakan strategi pamungkas bila semua strategi pembasmian yang ditempuh tidak menuai hasil, yaitu para petani mengorganisir diri dan melakukan pembasmian secara besar-besaran menangkapi tikus dengan tangan seusai panen atau sebelum penanaman benih secara bersama-sama. Setelah itu, plastik polybag setinggi lebih kurang 40 sentimeter dipasang mengelilingi tanaman padi di sisi dalam pematang. Dengan begitu, tikus yang masuk ke wilayah penanaman padi tergelincir karena permukaan palstik yang licin.
Tikus berdasi
Dari strategi petani tersebut kita mendapatkan jurus ampuh bagaimana membasmi ”tikus berdasi”. Pertama, ciptakan perangkat hukum yang betul-betul berwibawa sehingga dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh. Banyak kelakar yang memilukan bagaimana hukum di jalankan di negeri ini, misalnya, lebih baik mencuri milyaran rupih daripada ”Cuma” nyolong ayam atau mencopet, sudah dapat bogem mentah aparat hukuman yang diberikan pun tidak berbeda jauh dengan penilap milyaran. Lalu bagaimana kalau undang-undangnya tersedia tetapi aparatnya masih bebal dan tidak tahu terima kasih?
Kedua, menciptakan institusi khusus yang sui generis menjadi musuh ”tikus-tikus berdasi”. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa jadi merepresentasikan strategi ini. Lalu bagaimana bila KPK hanya mampu mengurusi ”tikus-tikus berdasi” kelas teri, dan tidak mampu menyentuh ”tikus-tikus besar” sehingga rakyat kembali dikecewakan sebagaimana halnya oleh Kejaksaan dan Kepolisian?
Ketiga, Revolusi. Langkah pamungkas inilah yang harus dilakukan oleh rakyat untuk membasmi ”tikus-tikus” tersebut. Ketika lembaga-lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif kehilangan kredibilitas di mata rakyat, pemilik sejati republik ini, maka rakyat harus mengorganisasikan dirinya entah dimobilisasi para tokoh adat atau agama maupun kalangan intelektual untuk melakukan people power secara besar-besaran dalam rangka membersihkan negara dari ”tikus-tikus” yang merusak.
Setelah tumbangnya rezim ”tikus” ini, kemudian merumuskan ulang hukum-hukum negara yang mampu menutup celah masuknya atau lahirnya kembali tikus-tikus yang merusak negara. Setelah revolusi, tatanan kembali di bangun.
Tentu saja memberantas ”tikus berdasi” jauh lebih sulit daripada tikus sawah. Bukan hanya tingkat kecerdasan dan kecanggihan strategi dalam menyelamatkan diri yang hebat, “tikus” berdasi ini juga terkadang memiliki “kesaktian” dalam merubah wujud seolah-olah petani, yang nota-bene musuhnya, sehingga banyak yang terkecoh.
Kekuatan finansial mereka, yang hasil curian, memungkinkannya untuk membayar tokoh agama, adat hingga intelektual kampus sehingga dipastikan revolusi yang merubah nasib rakyat tidak akan benar-benar terjadi. Hasilnya saya harus menyerahkan kepada Tuhan dan setuju dengan Sukardi Rinakit (2008) dengan Gusti ora sare-nya, entah karena pesimis dengan perubahan atau sekedar memelihara kesadaran tetap terjaga.
1 komentar:
Gimana kalo judulnya Membasmi (Poli)tikus??? Kayaknya lebih fokus boss...
Sabar yaa kalo belum dimuat. Sebagai hiburan buat ente, arek moal dibawakeun rangda??? Ameh tenang hehe... Aya buku anyar yeuh ti Matahati, mangga diresensi ku akang heula.
Posting Komentar