Selasa, 16 September 2008

Reformer Menggugat Inlander


Judul Buku: Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia
Penulis: Mohammad Amien Rais
Penerbit: PPSK Press
Cetakan: ekstra, 2008
Tebal: 298+xviii halaman

Kolonialisasi yang dipraktikkan selama 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang terhadap bangsa Indonesia nampaknya tidak pernah membuatnya jera dan berusaha merdeka secara paripurna, sebaliknya perilaku elitnya seolah merindukan masa tergelap dalam sejarah Indonesia tersebut. Gelagat ini setidaknya tercermin dari beberapa transaksi ekonomi, maupun politik, yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan beberapa korporasi asing.

Menariknya, praktik tersebut justru bukan terjadi pada masa konsolidasi, Orde Lama, maupun hanya pada masa Orde Baru yang identik dengan era ketertutupan penuh praktik manipulatif terhadap rakyat, “kegilaan” ini justru terus langgeng hingga pada masa keterbukaan, Reformasi. Modus operandinya jauh lebih canggih daripada masa-masa sebelumnya. Dulu dengan moncong senjata, kini lewat iklan media massa. Dulu kolonialisasi, kini globalisas.

Kolonialisme bercirikan tiga hal: pertama, ada kesenjangan kemakmuran antara negara penjajah dan yang terjajah. Kedua, hubungan antara keduanya bersifat eksploitatif dan menindas. Ketiga, negara terjajah, sebagai pihak yang lemah, kehilangan kedaulatan dalam arti luas. (hlm. 20-21). Ketiga ciri tersebut selaras dengan realitas globalisasi ekonomi dewasa ini, tidak mengherankan apabila Bung Karno jauh-jauh hari telah menyamakan globalisasi ini dengan neo-kolonialisme.

Selasa, 09 September 2008

Kala (Janji) Syurga Menjadi Neraka


Judul Buku: Ustadz Saya Sudah di Syurga
Penulis: Mohammad Guntur Romli
Penerbit: KataKita
Cetakan: Pertama, Agustus 2007
Tebal : xviii+ 296 halaman

Bonanza aksi terorisme yang berlabelkan Islam (baca: fundamentalisme Islam), dewasa ini seolah-olah semakin memperkuat asumsi yang tertanam di Barat, bahwa Islam adalah agama yang intoleran, gandrung pada kekerasan dan menjustifikasi perilaku anarkis-destruktif. Bopeng wajah Islam dalam stereotif Barat ini disisi lain, juga menunjukkan kekerdilan mentalitas dan kepicikan paradigma berpikir sebagian kaalangan umat Islam yang meresahkan sekaligus menggelikan. Betapa tidak, kemajuan suatu bangsa atau agama lain hanya mampu direspons oleh beberapa dengan cara-cara yang memalukan seperti bom bunuh diri, teror dan tindakan kekerasan lainnya, celakanya lagi tindakan tersebut diyakini sebagai perintah Tuhan yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari keyakinan terhadap agama (Islam), pahala (reward) bagi yang melakukakannya dan siksa (punishment) bagi yang tidak.

Harus diakui secara jujur bahwa bukan hanya Islam yang potensial terhadap aksi fundamentalisme, pada dasarnya semua agama memilikinya. Karena sebagaimana yang dicatat Karen Amstrong dalam Berperang Demi Tuhan, 2001, bahwa semua agama pernah mengalami peperangan yang mengatasnamakan (agama) Tuhan, hal ini terjadi karena agama kerapkali membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan negara (profan).

Menggagas (kembali) Islam Kosmopolit


Review Book: Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan
Penulis : KH. Abdurrahman Wahid
Tebal : xxxvii + 397 halaman
Editor : Agus Maftuh Abegebriel, Ahmad Suaedy
Penerbit : The Wahid Insitute, 2007

Maraknya aksi fundamentalisme Islam dan booming aliran yang dicap sesat di Indonesia saat ini, seolah-olah semakin memperkuat asumsi bahwa Islam agama yang intoleran, cenderung pada kekerasan dan anti modernitas, ataupun dalam sisi yang lain bisa dikatakan gagal dalam membina keberagamaan umatnya. Betapa tidak, kemajuan bangsa atau agama lain hanya mampu direspons oleh beberapa kalangan umat Islam dengan cara-cara yang memalukan seperti bom bunuh diri, teror dan tindakan kekerasan lainnya, celakanya lagi tindakan tersebut diyakini sebagai perintah Tuhan yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari keyakinan terhadap agama (Islam) itu sendiri.


Krisis figur pemimpin keagamaan tersebut di sisi lain juga memicu kretifitas umat yang cenderung ngawur, karena kehilangan kepercayaan terhadap tokoh agamanya, orang lebih menyukai bersemedi dipinggir kali maupun menyepi di puncak gunung untuk mencari solusi kehidupan (wahyu/wangsit), sehingga kemudian memproklamirkan diri sebagai Mahdi, Messias bahkan Nabi baru seperti yang terjadi pada kasus Ahmad Musaddeq dan Lia Aminuddin, yang pada akhirnya pun ikut dinyatakan kafir dan sesat oleh para kalangan agamawan juga. Tak ketinggalan rigiditas kalangan umat Islam dalam menghadapi modernitas pun tidak memperlihatkan kemajuan signifikan, hal ini terbukti dalam beberapa kalangan umat Islam dewasa ini masih terdapat pemahaman bahwa modernitas sesuatu yang harus ditolak dan dilawan.

Jumat, 05 September 2008

Islam Ramah Lingkungan


Oleh: Noval Maliki
Penggiat Demi Buku Institute

Tulisan ini dimuat di jurnal Detak Pesantren, Yogyakarta

United Nation Climate Change Conference (UNCCC) 2007, yang dilaksanakan di Bali beberapa hari kemarin, mampu menyentak kesadaran kita akan bahaya dari ancaman perubahan iklim secara global. Pemanasan global (global warming) yang mengakibatkan berbagai bencana alam yang luar-biasa diberbagai belahan dunia –termasuk Indonesia- seperti terjadinya perubahan cuaca secara drastis, kenaikan permukaan air laut yang diakibatkan melelehnya es di kutub utara dan ancaman kesinambungan keberadaan makhluk hidup di Bumi, setidaknya menyiratkan satu hal; bahwa perilaku manusia yang tidak bersahabat terhadap alam, mampu menciptakan distabilitas ekologis di planet ini.

Pemanasan global merupakan proses meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Planet Bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, oleh para ilmuan dianggap disebabkan aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.

Quo Vadis Pesantren?


Oleh: Noval Maliki
Penggiat Demi Buku Institute

Sangat tidak mudah memang mendefinisikan sebuah pesantren, ia tidak bisa dimaknai secara tunggal karena hal itu secara tidak langsung akan mereduksi makna dan peran pesantren di wilayah lain. Secara antropologis, pesantren bisa dibaca dalam berbagai aspek. Pesantren bisa dibaca: dalam kapasitasnya sebagai lembaga dan sistem pendidikan; dapat dikategorikan sebagai sub-kultur komunitas santri; signifikan dipetakan sebagai mazhab pemikiran keagamaan tradisional; cukup mewakili dipersonifikasikan sebagai bagian wujud sinkretisme Islam yang universal dengan budaya lokal Indonesia yang partikular; dan tidak salah dianggap sebagai representasi kepentingan akar rumput.

Secara politis, pesantren ibarat sebuah kerajaan kecil dengan kyai sebagi penguasa tunggal. Peran pesantren dalam percaturan politik nasional pun bukan hal baru. Dalam sejarahnya di Indonesia mungkin hanya pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mampu ‘bermain’ di wilayah politik. Sehingga tidak mengherankan apabila menjelang ‘musim’ pemilu, tidak sedikit partai politik yang ‘bersilaturahmi’ dengan pesantren.