Jumat, 05 September 2008

Islam Ramah Lingkungan


Oleh: Noval Maliki
Penggiat Demi Buku Institute

Tulisan ini dimuat di jurnal Detak Pesantren, Yogyakarta

United Nation Climate Change Conference (UNCCC) 2007, yang dilaksanakan di Bali beberapa hari kemarin, mampu menyentak kesadaran kita akan bahaya dari ancaman perubahan iklim secara global. Pemanasan global (global warming) yang mengakibatkan berbagai bencana alam yang luar-biasa diberbagai belahan dunia –termasuk Indonesia- seperti terjadinya perubahan cuaca secara drastis, kenaikan permukaan air laut yang diakibatkan melelehnya es di kutub utara dan ancaman kesinambungan keberadaan makhluk hidup di Bumi, setidaknya menyiratkan satu hal; bahwa perilaku manusia yang tidak bersahabat terhadap alam, mampu menciptakan distabilitas ekologis di planet ini.

Pemanasan global merupakan proses meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Planet Bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, oleh para ilmuan dianggap disebabkan aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.

Ekses negatif dari Pemanasan global dapat diminimalisir dengan menghilangkan karbon di udara. Setidaknya terdapat dua cara yang dapat ditempuh. pertama, dengan menyuntikkan karbon tersebut ke dalam sumur-sumur minyak agar minyak bumi keluar ke permukaan. Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Kedua, cara paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan memilihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya.

Ironisnya, pahlawan satu-satunya sebagai penjaga kesinambungan kehidupan makhluk di Bumi ini pun banyak dibabat manusia untuk memuaskan kebutuhannya. Pagar makan tanaman, barangkali pepatah yang sangat tepat untuk menggambarkan fenomena ini. Indonesia sendiri tercatat sebagai salah-satu negara penghancur hutan tercepat di Dunia dengan rata-rata 2 juta hektar pertahun hutan Indonesia ditebang. Lalu dimana peran dan fungsi Islam, sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas manusia Indonesia ini? Bagaimana konsepsi Islam mengenai lingkungan?

Manusia dan Lingkungan dalam al-Qur’an

”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ’sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi’. Mereka berkata,’ apakah Engkau hendak menjadikan di Bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu?’ Tuhan berfirman, ’sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”.

Keputusan Allah -meskipun sempat dikritisi para malaikat- yang terekam dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di planet Bumi tersebut, seakan patut ditinjau kembali belakangan ini, mengingat dari hari ke hari perilaku manusia tidak menunjukkan perbaikan secara signifikan. Sebaliknya, kekhawatiran Malaikat sebagaimana yang di prediksikannya semakin mendekati kenyataan; intensitas manusia semakin meningkat dalam melakukan perusakan di dunia, baik berupa peperangan yang terjadi antar sesama manusia maupun tindakan manusia terhadap alam yang semena-mena, sehingga menimbulkan fenomena global warming yang mengakibatkan berbagai bencana sebagaimana yang disebutkan di atas. Namun, Allah pun membesarkan hati malaikat dengan menjanjikan bahwa Dia –Yang Maha Besar- mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh seluruh makhluk-Nya. Entah apa yang direncanakan Allah, namun arus waktu yang tak bisa diajak kompromi oleh manusia semakin mendekatkannya pada ancaman kepunahan.

Memang benar, Tuhan memberikan mandat kepada manusia untuk mengelola dan mendaya-gunakan segala potensi yang ada di Bumi demi kesejahteraan manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 29, yang artinya: Dia-lah Allah, yang menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi.... Namun, Allah juga menerapkan aturan main bahwa manusia dilarang merusak keberlangsungan ekologi dan juga menumpahkan darah di atas bumi, seperti yang dikhawatirkan malaikat pada ayat pertama di atas. Dalam upayanya mengeksplorasi kekayaan alam ini, manusia juga memerlukan perangkat pengetahuan yang mampu menghindarkan –setidaknya meminimalisir- manusia dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Karena pada dasarnya ....”Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah...(Q.S. Shad: 37)

Wewenang dan larangan yang diberikan Allah kepada manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sekitar (bumi), selain demi menjaga kelestarian alam itu sendiri, pada dasarnya juga dimaksudkan sebagai batu ujian apakah manusia akan mentaati larangan-Nya atau tidak, yang dapat membedakan mana manusia yang taat kepada Allah dan yang melanggar larangan-Nya. Adanya pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada manusia ini, mengasumsikan bahwa manusia telah diberikan oleh Allah kemampuan untuk memilih dan menentukan perbuatannya, ini pula yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain di bumi, sehingga ia mendapatkan status bergengsi sebagai khalifah. Makna khalifah sendiri, sebagaimana yang dikatakan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-nya mengesankan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum. Sehingga secara teologis, teori pahala dan dosapun dapat diterapkan.

Dalam Islam, bukan hanya manusia yang memiliki hak yang harus terpenuhi, namun juga binatang dan tumbuh-tumbuhan. Manusia memang memiliki hak untuk mengelolanya secara wajar, namun buah-buahanpun memiliki hak yang harus dipenuhi oleh manusia dengan mengeluarkan zakat, apabila telah mencapai pada jumlah tertentu. Hal ini sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-an’am ayat 141, yang berbunyi: ” Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.

Ayat di atas juga mengingatkan kepada manusia agar tidak mengeksploitasi hasil alam secara berlebih-lebihan karena, sikap tersebut menunjukkan bahwa manusia tidak mampu bersyukur terhadap karunia Allah yang telah diberikan-Nya. Yang pada akhirnya mendatangkan bencana (adzab) terhadap manusia. Sebagai contoh, kasus penebangan hutan secara berlebih-lebihan, tanpa mau melestarikan apalagi melakukan penanaman pohon kembali, dapat memicu terjadinya bencana (dalam bahasa agama adzab) longsor, banjir dan lain sebagainya. Sikap tersebut, menurut al-Qur’an merupakan bentuk dari sikap manusia yang tidak mau bersyukur akan nikmat-Nya. Hal ini sebagaimana dalam firmannya: ” Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim:7)
Secara eksplisit, ayat-ayat di atas menekankan akan pentingnya kesadaran manusia terhadap kehidupan lingkungannya. Pahala bukan hanya didapat dari menyembah Tuhan dan berbuat-baik terhadap sesama manusia, akan tetapi terhadap berbagai makhluk ciptaan Allah lainnya. Apalagi secara substansial, melestarikan alam juga berarti peduli terhadap segala kehidupan di planet ini. Sebagai contoh melestarikan atau pohon yang mampu menyerap CO2 dan mengeluarkan oksigen, secara langsung mampu mereduksi resiko pemanasan global.

Ironisnya, ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an maupun hadis, hanya berhennti pada level wacana dan seminar, tanpa mampu menjamah wilyah Psikomotorik umat beragama. Padahal bahaya yang mengancam sudah di depan mata. Lalu, kapan kita mau berubah?

Tidak ada komentar: