Jumat, 16 Januari 2009

Cahaya Berhaji


Oleh: Noval Maliki
Judul Buku: Terapi Hati di Tanah Suci: Ya Allah Jadikan Aku Cahaya
Penulis: Hernowo
Penerbit: Lingkar Pena Kretiva
Cetakan: Pertama, September 2008
Tebal: 200 halaman

Di dalam Islam, ibadah haji menempati posisi terakhir dari rukunnya yang lima. Setelah Syahadat, Shalat, Zakat dan puasa. Apabila rukun yang pertama hingga keempat semua muslim wajib melaksanakannya, sedangkan ibadah haji hanya diwajibkan kepada mereka yang benar-benar mampu baik secara finansial, mental hingga kesehatan fisiknya. Hal ini dikarenakan haji hanya dimungkinkan terlaksana bila kita mampu melaksanakan perjalanan untuk berkunjung ke rumah Allah (bait allah) di Makkah juga ritual lainnya di Madinah, dua kota suci umat Islam yang terletak di Jazirah Arab. Inilah merupakan salah satu ke "unikan" dari ibadah ini.

Sebagai sebuah perjalanan ibadah yang spesial dan cukup panjang, di dalam melaksanakan haji tentu saja didapati beraneka pengalaman religiousitas (religious experiences) oleh pelakunya sehingga dari pengalaman tersebut diharapkan membekas dan mampu merubah semua aspek kehidupannya menjadi lebih baik, atau yang dikenal dengan istilah haji mabrur. Inilah yang menjadi point utama buku ini, penulisnya (Hernowo) hendak sharing pengalaman pribadinya kepada pembaca, terutama calon jama'ah haji, bagaimana ritualitas yang dilakukannya selama menjalankan ibadah haji dan apa yang dirasakannya setelah menjadi tamu Allah tersebut, selain itu kelebihan buku ini juga mengajarkan kepada pembaca bagaimana metode menghimpun pengetahuan mengenai ibadah haji dari berbagai buku yang dianggap cukup praktis sehingga memudahkan calon jama'ah dalam melaksanakan ibadahnya.

Kamis, 15 Januari 2009

Plus-Minus Front Pembela Islam (FPI)



Oleh: Noval Maliki,
Judul Buku: Hitam-Putih FPI (Front Pembela Islam)
Penulis: Andri Rosadi, Lc, M.Si.
Penerbit: Nun Publisher
Cetakan: Pertama, Juli 2008
Tebal: 240 Hlm.

Mungkin jawaban yang ada di benak saya, tidak jauh berbeda dengan anda pembaca ketika ditanyakan, organisasi masyarakat (ormas) apa yang identik dengan aksi kekerasan? Atau bila lebih dikerucutkan lagi siapa tokoh yang saat ini dikenal paling “garang” dalam menyampaikan pandangan-pandangan keagamaannya, terutama dalam hal penegakan ‘amar ma’ruf nahi munkar dan pembubaran aliran Ahmadiyah?

FPI dan Habib Rizieq Shihab adalah dua nama yang secara spontan mungkin terlintas untuk menjawab dua pertanyaan di atas. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Maklum sang Habieb, yang keturunan tokoh legendaris Betawi si Pitung dan juga secara geneologis merupakan ahlul-bait keturuanan Rasulullah saw. ini, merupakan pendiri utama ormas tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahwa FPI adalah representasi dari Habieb Rizieq, ia adalah pusat wacana sekaligus produsen kebenaran yang linuwih tak tertandingi hingga kini bagi ormas tersebut.

Meskipun hal tersebut bukan jaminan untuk tidak terjadinya “pembusukan” dari internal FPI sendiri, mengingat tidak sedikit yang mencatut nama dan pengaruh Habieb maupun FPI, justru untuk mengeruk kepentingan pribadi. Sehingga kemudian terjadi friksi yang dikenal istilah FPI hitam, yang mbalelo dan menyimpang, dan FPI putih, yang konsisten pada garis perjuangan organisasi.

Minggu, 04 Januari 2009

Kota Seribu Polisi Tidur


Oleh: Noval Maliki

Bagi anda yang menyukai travelling atau hanya sekedar jalan sore beberapa tahun lalu, mungkin menempatkan Jogja dalam deretan paling atas sebagai prioritas untuk di kunjungi. Kondisi masyarakatnya yang terpelajar dan bersahabat, lalu lintasnya yang relatif tenang, suasana kotanya yang never-ending dan temaram lampu malam yang menghiasi kota nan sulit dilupakan. Tidak mengherankan apabila banyak musisi yang mengabadikannya dalam berbagai tembang yang melegenda dan akrab di telinga.

Namun jalanan Jogjakarta sudah banyak berubah beberapa tahun terakhir. Meningkatnya aktivitas pedagang kaki lima yang menggunakan ruas-ruas trotoar sehingga sedikit mengganggu pejalan kaki, padatnya arus lalu lintas yang diakibatkan bertambahnya volume kendaraan bermotor yang tidak terkontrol dan satu hal lagi yang unik adalah tumbuh suburnya “polisi tidur” di berbagai jalan mulai kelas arteri hingga di gang-gang sempit.

Hebatnya lagi pembuatannya biasa dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri entah lewat dana swadaya atau individu. Bentuknya pun bermacam-macam, ada yang hanya memiliki ketinggian satu-dua sentimeter, namun tidak sedikit pula mencapai lima sentimeter bahkan lebih. Tentu saja hal ini selain dapat merusak kendaraan, bahkan membahayakan para pengendara kendaraan roda dua, namun juga mengurangi kenyamanan dalam berkendara.

Geneologi Kemiskinan di Indonesia


Oleh: Noval Maliki

Jika ada sebuah negara yang kekayaan alamnya sangat melimpah, tanahnya subur dan telah lama terkenal dengan gemah ripah loh jinawi, dan secara geografis memiliki posisi yang strategis, namun realitas rakyatnya sangat miskin, tertinggal, tidak memiliki harga diri di hadapan bangsa-bangsa lain, maka kemungkinannya hanya dua: pertama, negara tersebut tidak memiliki seorang pemimpin, dan kedua, negara tersebut memiliki pemimpin apatis, acuh tak acuh alias masa bodoh terhadap kesejahteraan rakyatnya.

Ada satu kemungkinan ketiga yakni pemimpin tersebut tidak memahami bagaimana cara mengatasi problem negara ini, namun hal tersebut menjadi sangat naif dan termentahkan mengingat seorang pemimpin di kelilingi seabreg pembantu seperti menteri, para penasihat dan staf khusus. Juga ada kaum cerdik pandai akademisi, plus suara-suara kritis di luar (oposisi) yang menawarkan solusi. Namun sekali lagi, decision maker tetap ada di tangan seorang pemimpin

Negeri itulah Indonesia tercinta saat ini. Krisis fundamental yang terjadi bukan melulu berupa krisis energi, pangan, ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya. Yang terjadi adalah Krisis kepemimpinan. Sumber petaka dari semua kemiskinan selain amburadulnya manajemen dan wibawa (baca: ketegasan) pemimpin juga tidak adanya political will dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih.

Pudarnya Identitas Merah-Putih


Oleh: Noval Maliki

Entah apa yang ada dibenak para founding fathers negeri ini dengan menjadikan merah dan putih sebagai warna simbol bendera pusaka bangsa. Konon, secara filosofis merah bermakna keberanian dan putih melambangkan kesucian dan ketulusan hati. Secara sederhana dapat diterjemahkan: berani bertindak karena benar.

Merah Putih memang pernah berkibar, memberikan spirit nyata dalam diri manusia-manusia seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Jendral Besar Soedirman dan lain-lain. Yang gagah berani melakukan resistensi terhadap balatentara kolonial yang berniat melanggengkan penjajahannya.

Pada dasarnya resistensi terbuka bukan satu-satunya pilihan para pahlawan kita pada masa kemerdekaan. Namun, ternyata mereka lebih menyukai opsi tersebut daripada Ibu Pertiwi tercinta kembali di jarah bangsa asing.

Hatta dan Syahrir misalnya lebih memilih di buang ke Boven Digoel daripada tunduk terhadap Belanda meskipun dengan berbagai kosesi baik harta maupun jabatan. Soekarno berkali-kali diasingkan, Soedirman jendral terbesar yang pernah hidup di negeri ini melakukan perang gerilya dalam keadaan sakit parah. Inilah manusia-manusia merah-putih sejati.

Sang Gandhi dari Amerika


Oleh: Noval Maliki
Judul Buku: Hebron Journal: Catatan Seorang Aktivis Perdamain dari Amerika yang Melawan Kekejaman Israel di Palestina dengan Jalan Cinta dan Anti-Kekerasan
Judul Asli: Hebron Journal: Stories of non Violence Peacemaking
Penulis: Arthur G. Gish
Penerbit: Mizan
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: 550 halaman

“Tiga tentara (Israel) mengacungkan senapan mereka dan menghampiri sekelompok orang Palestina yang menonton. Aku menduga mereka akan menembak orang-orang itu. Aku segera menghambur ke hadapan tentara-tentara itu, mengangkat kedua tanganku, dan berteriak, “tembak aku, tembak aku, ayo tembak aku!” Tentara-tentara itu langsung menyingkir.

Sebuah Tank datang menderu ke hadapanku, moncong raksasanya mengarah kepadaku. Aku mengangkat kedua tanganku di udara, berdoa, dan berteriak, “Tembak, tembak, “Baruch hashem Adonai (Terpujilah nama Tuhan)” tank itu berhenti beberapa inci di hadapanku.

Aku lantas berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan terangkat di udara. Aku merasa sendiri, lemah, tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.”