
Oleh: Noval Maliki
Jika ada sebuah negara yang kekayaan alamnya sangat melimpah, tanahnya subur dan telah lama terkenal dengan gemah ripah loh jinawi, dan secara geografis memiliki posisi yang strategis, namun realitas rakyatnya sangat miskin, tertinggal, tidak memiliki harga diri di hadapan bangsa-bangsa lain, maka kemungkinannya hanya dua: pertama, negara tersebut tidak memiliki seorang pemimpin, dan kedua, negara tersebut memiliki pemimpin apatis, acuh tak acuh alias masa bodoh terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Ada satu kemungkinan ketiga yakni pemimpin tersebut tidak memahami bagaimana cara mengatasi problem negara ini, namun hal tersebut menjadi sangat naif dan termentahkan mengingat seorang pemimpin di kelilingi seabreg pembantu seperti menteri, para penasihat dan staf khusus. Juga ada kaum cerdik pandai akademisi, plus suara-suara kritis di luar (oposisi) yang menawarkan solusi. Namun sekali lagi, decision maker tetap ada di tangan seorang pemimpin
Negeri itulah Indonesia tercinta saat ini. Krisis fundamental yang terjadi bukan melulu berupa krisis energi, pangan, ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya. Yang terjadi adalah Krisis kepemimpinan. Sumber petaka dari semua kemiskinan selain amburadulnya manajemen dan wibawa (baca: ketegasan) pemimpin juga tidak adanya political will dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih.
Krisis ini yang membuat dialog macet, komunikasi antara rakyat dan pemimpinnya tersumbat karena pemimpin telah “tuli” untuk mendengar segala aspirasi. Celakanya lagi, legislatif sebagai lembaga penampung aspirasi rakyat lebih berperan sebagai penyambung lidah partai dan broker Undang-undang daripada menajalankan fungsi yang semestinya.
Hasilnya tidak mengherankan apabila demontrasi di jalan yang tidak jarang disertai dengan aksi anarkisme kerap terjadi. Ketika segala pancaran cahaya telah tertutup maka kegelapan akan menyelimuti. Ketika penguasa dan pemimpin bebal mendengar suara rakyat, maka yang timbul adalah anarkisme, ketika parlemen Senayan gagal mengapresiasi suara konsituennya, maka parlemen jalanan kadang menjadi pilihan mujarab mengambil perhatian.
Namun dalam sebuah sistem demokrasi, tentu saja kita tidak bisa menutup mata terhadap eksistensi partai politik, karena ia sebuah keniscayaan sebagai wadah partisipasi politik warga negara. Sehingga yang harus dilakukan adalah merebut kekuasaan dan mengorganisir partai dan pemerintahan agar steril dari anasir-anasir negatif yang terlanjur identik dengan negara Indonesia.
Kaderisasi dan pencalonan anggota legislatif yang selama ini sarat dengan gaya politik uang dan instan harus dirubah dengan mengedepankan kader-kader, terutama yang lebih muda, progresif dan notabene mau berjuang demi rakyat yang mempercayakannya. Demikian pula untuk posisi-posisi eksekutif.
Agenda ke Depan
Setelah mendiagnosa akar dari segala masalah yang ada di negeri ini, maka resepnya dan solusinya jelas: diperlukan seorang pemimpin yang mengedepankan rakyat di atas segala kepentingan pribadinya. Inilah pemimpin yang mau mendengar rakyat dan bekerja keras untuk mengimplementasikannya, bukan pemimpin yang memaksakan diri memasang tampangnya yang –maaf- tidak begitu menarik dan cenderung membosankan di baliho maupun media.
Pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya pada aspek ekonomi melulu, tetapi ia harus bersifat integratif-interkonektif dengan aspek sosial, budaya pendidikan, keamanan dan paling utama aspek moralitas. Hal ini diperlukan karena pemberantasan kemiskinan di Indonesia pada tingkat operasional harus dilakukan dengan menggunakan seluruh sumber daya dan potensi yang ada.
Adapun langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan adalah: Pertama, hukuman maksimal terhadap para koruptor kelas kakap. Korupsi adalah faktor pertama yang muncul ketika seorang pemimpin kehilangan integritasnya. Sebagaimana kita ketahui kehancuran republik ini adalah karena tindak korupsi yang sedemikian parah dan hampir disemua lini pemerintahan. Sehingga yang harus dilakukan adalah adanya hukum yang mampu menindak tegas dan memberikan efek jera terhadap para pelaku yang lain. Misalnya untuk koruptor Rp. 500 juta hingga satu milyar maka hukumannya adalah kurungan seumur hidup, dan untuk kategori 1 milyar ke atas adalah hukuman mati.
Kedua, nasionalisasi industri-industri strategis di bidang minyak, gas, batu bara dan telekomunikasi, atau setidaknya kepemilikan pemerintah (saham) atas perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tersebut minimal 85%. Hal ini mutlak diperlukan mengingat nilai jual dari komoditi tersebut terus meningkat. selain itu, kemandirian atas industri-industri strategis ini juga akan berpengaruh terhadap kedaulatan NKRI, seperti industri baja yang mensuplai bahan baku senjata, pesawat, dan lain sebagainya.
Ketiga, harus dirumuskan kembali konsep pembangunan negara kita, apakah bertumpu sebagai negara agraris, maritim, industrialis atau mencoba menyatukan dari ketiganya. Praksisnya adalah memindahkan dan atau membuat kawasan-kawasan industri baru di luar pulau Jawa, terutama kawasan Timur Indonesia, bisa di Pulau Kalimantan, Maluku, Sulawesi bahkan Papua. Dengan demikian secara otomatis akan berdampak pada migrasi, menarik pekerja dari pulau Jawa yang telah sedemikian padat penduduknya.
Keempat, memperkuat armada laut. Selain demi menjaga kedaulatan NKRI, hal ini juga demi terciptanya keamanan, mengingat ratusan miliar rupiah perhari kerugian negara ini yang diakibatkan oleh ilegal logging, pencurian ikan, maupun barang-barang selundupan yang melalui jalan laut. Sehingga di harapkan dengan kekuatan Angkatan laut yang mumpuni mampu mencegah atau setidaknya mengurangi kerugian negara yang hampir bangkrut.
Namun keempat hal ini akan menjadi sia-sia apabila mentalitas pemimpin yang kita miliki masih berjiwa, meminjam istilah Amin Rais, inlander yang hobinya menjadi abdi asing dan pekerjaannya merampok dan menggusur rakyat kecil. Pemilu tinggal beberapa bulan lagi, keputusan ada di tangan rakyat Indonesia akan menjadi apa wajah Republik tercinta ini di masa datang. atau mungkin rakyat negeri ini memang tidak mau berubah sehingga "dengan rela" kembali tertipu....
Jika ada sebuah negara yang kekayaan alamnya sangat melimpah, tanahnya subur dan telah lama terkenal dengan gemah ripah loh jinawi, dan secara geografis memiliki posisi yang strategis, namun realitas rakyatnya sangat miskin, tertinggal, tidak memiliki harga diri di hadapan bangsa-bangsa lain, maka kemungkinannya hanya dua: pertama, negara tersebut tidak memiliki seorang pemimpin, dan kedua, negara tersebut memiliki pemimpin apatis, acuh tak acuh alias masa bodoh terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Ada satu kemungkinan ketiga yakni pemimpin tersebut tidak memahami bagaimana cara mengatasi problem negara ini, namun hal tersebut menjadi sangat naif dan termentahkan mengingat seorang pemimpin di kelilingi seabreg pembantu seperti menteri, para penasihat dan staf khusus. Juga ada kaum cerdik pandai akademisi, plus suara-suara kritis di luar (oposisi) yang menawarkan solusi. Namun sekali lagi, decision maker tetap ada di tangan seorang pemimpin
Negeri itulah Indonesia tercinta saat ini. Krisis fundamental yang terjadi bukan melulu berupa krisis energi, pangan, ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya. Yang terjadi adalah Krisis kepemimpinan. Sumber petaka dari semua kemiskinan selain amburadulnya manajemen dan wibawa (baca: ketegasan) pemimpin juga tidak adanya political will dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih.
Krisis ini yang membuat dialog macet, komunikasi antara rakyat dan pemimpinnya tersumbat karena pemimpin telah “tuli” untuk mendengar segala aspirasi. Celakanya lagi, legislatif sebagai lembaga penampung aspirasi rakyat lebih berperan sebagai penyambung lidah partai dan broker Undang-undang daripada menajalankan fungsi yang semestinya.
Hasilnya tidak mengherankan apabila demontrasi di jalan yang tidak jarang disertai dengan aksi anarkisme kerap terjadi. Ketika segala pancaran cahaya telah tertutup maka kegelapan akan menyelimuti. Ketika penguasa dan pemimpin bebal mendengar suara rakyat, maka yang timbul adalah anarkisme, ketika parlemen Senayan gagal mengapresiasi suara konsituennya, maka parlemen jalanan kadang menjadi pilihan mujarab mengambil perhatian.
Namun dalam sebuah sistem demokrasi, tentu saja kita tidak bisa menutup mata terhadap eksistensi partai politik, karena ia sebuah keniscayaan sebagai wadah partisipasi politik warga negara. Sehingga yang harus dilakukan adalah merebut kekuasaan dan mengorganisir partai dan pemerintahan agar steril dari anasir-anasir negatif yang terlanjur identik dengan negara Indonesia.
Kaderisasi dan pencalonan anggota legislatif yang selama ini sarat dengan gaya politik uang dan instan harus dirubah dengan mengedepankan kader-kader, terutama yang lebih muda, progresif dan notabene mau berjuang demi rakyat yang mempercayakannya. Demikian pula untuk posisi-posisi eksekutif.
Agenda ke Depan
Setelah mendiagnosa akar dari segala masalah yang ada di negeri ini, maka resepnya dan solusinya jelas: diperlukan seorang pemimpin yang mengedepankan rakyat di atas segala kepentingan pribadinya. Inilah pemimpin yang mau mendengar rakyat dan bekerja keras untuk mengimplementasikannya, bukan pemimpin yang memaksakan diri memasang tampangnya yang –maaf- tidak begitu menarik dan cenderung membosankan di baliho maupun media.
Pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya pada aspek ekonomi melulu, tetapi ia harus bersifat integratif-interkonektif dengan aspek sosial, budaya pendidikan, keamanan dan paling utama aspek moralitas. Hal ini diperlukan karena pemberantasan kemiskinan di Indonesia pada tingkat operasional harus dilakukan dengan menggunakan seluruh sumber daya dan potensi yang ada.
Adapun langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan adalah: Pertama, hukuman maksimal terhadap para koruptor kelas kakap. Korupsi adalah faktor pertama yang muncul ketika seorang pemimpin kehilangan integritasnya. Sebagaimana kita ketahui kehancuran republik ini adalah karena tindak korupsi yang sedemikian parah dan hampir disemua lini pemerintahan. Sehingga yang harus dilakukan adalah adanya hukum yang mampu menindak tegas dan memberikan efek jera terhadap para pelaku yang lain. Misalnya untuk koruptor Rp. 500 juta hingga satu milyar maka hukumannya adalah kurungan seumur hidup, dan untuk kategori 1 milyar ke atas adalah hukuman mati.
Kedua, nasionalisasi industri-industri strategis di bidang minyak, gas, batu bara dan telekomunikasi, atau setidaknya kepemilikan pemerintah (saham) atas perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tersebut minimal 85%. Hal ini mutlak diperlukan mengingat nilai jual dari komoditi tersebut terus meningkat. selain itu, kemandirian atas industri-industri strategis ini juga akan berpengaruh terhadap kedaulatan NKRI, seperti industri baja yang mensuplai bahan baku senjata, pesawat, dan lain sebagainya.
Ketiga, harus dirumuskan kembali konsep pembangunan negara kita, apakah bertumpu sebagai negara agraris, maritim, industrialis atau mencoba menyatukan dari ketiganya. Praksisnya adalah memindahkan dan atau membuat kawasan-kawasan industri baru di luar pulau Jawa, terutama kawasan Timur Indonesia, bisa di Pulau Kalimantan, Maluku, Sulawesi bahkan Papua. Dengan demikian secara otomatis akan berdampak pada migrasi, menarik pekerja dari pulau Jawa yang telah sedemikian padat penduduknya.
Keempat, memperkuat armada laut. Selain demi menjaga kedaulatan NKRI, hal ini juga demi terciptanya keamanan, mengingat ratusan miliar rupiah perhari kerugian negara ini yang diakibatkan oleh ilegal logging, pencurian ikan, maupun barang-barang selundupan yang melalui jalan laut. Sehingga di harapkan dengan kekuatan Angkatan laut yang mumpuni mampu mencegah atau setidaknya mengurangi kerugian negara yang hampir bangkrut.
Namun keempat hal ini akan menjadi sia-sia apabila mentalitas pemimpin yang kita miliki masih berjiwa, meminjam istilah Amin Rais, inlander yang hobinya menjadi abdi asing dan pekerjaannya merampok dan menggusur rakyat kecil. Pemilu tinggal beberapa bulan lagi, keputusan ada di tangan rakyat Indonesia akan menjadi apa wajah Republik tercinta ini di masa datang. atau mungkin rakyat negeri ini memang tidak mau berubah sehingga "dengan rela" kembali tertipu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar