Minggu, 04 Januari 2009

Pudarnya Identitas Merah-Putih


Oleh: Noval Maliki

Entah apa yang ada dibenak para founding fathers negeri ini dengan menjadikan merah dan putih sebagai warna simbol bendera pusaka bangsa. Konon, secara filosofis merah bermakna keberanian dan putih melambangkan kesucian dan ketulusan hati. Secara sederhana dapat diterjemahkan: berani bertindak karena benar.

Merah Putih memang pernah berkibar, memberikan spirit nyata dalam diri manusia-manusia seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Jendral Besar Soedirman dan lain-lain. Yang gagah berani melakukan resistensi terhadap balatentara kolonial yang berniat melanggengkan penjajahannya.

Pada dasarnya resistensi terbuka bukan satu-satunya pilihan para pahlawan kita pada masa kemerdekaan. Namun, ternyata mereka lebih menyukai opsi tersebut daripada Ibu Pertiwi tercinta kembali di jarah bangsa asing.

Hatta dan Syahrir misalnya lebih memilih di buang ke Boven Digoel daripada tunduk terhadap Belanda meskipun dengan berbagai kosesi baik harta maupun jabatan. Soekarno berkali-kali diasingkan, Soedirman jendral terbesar yang pernah hidup di negeri ini melakukan perang gerilya dalam keadaan sakit parah. Inilah manusia-manusia merah-putih sejati.

Generasi Pink
Era kolonialisme fisik berakhir, berganti dengan ekspansi modal dan penjajahannya berupa ideologi dan kultur dalam sebuah sistem bernama neo-liberalisme. Agresi militer berubah menjadi derasnya arus utang luar negeri yang bisa berimplikasi positif tetapi lebih sering akan ekses negatifnya.

Dulu para pemimpin kita berjuang merebut dan mempertahankan kedaulatan Republik ini. Kini pemimpin kita lebih menyukai “menjajakan diri” menjual kekayaan bangsa kepada pihak asing, dilengkapi Undang-undang pula. Merah-putih seperti kehilangan “warna” aslinya. Merahnya semakin pucat tertimpa silau Dollar, Singapura atau Amerika, dan putihnya menjadi kelabu terkotori debu polusi dari alam yang tersakiti.

Hasilnya bangsa ini semakin kehilangan identitas dirinya. Identitas merah dan putih. Tidak mengherankan apabila kini kebingungan menentukan mana yang merah dan mana yang putih, kapan harus berani dan kapan harus beramah-tamah, karena telah tercampur-aduk menjadi warna baru: “Pink”.

Dalam kategori sex Merah berarti sisi maskulinitas dan putih menunjukkan feminimitas. ”pink” identik dengan pejantan bukan, betina bukan, alias wadam atawa hermaphrodite. Dia punya keberanian dan ketegasan tetapi hanya terhadap rakyat miskin. Terhadap pemilik kapital, persis bagai (dulu) mahasiswa IPDN di ospek para senior, takutnya minta ampun, irasional.

Keberanian pemimpin untuk membela kepentingan rakyat, ternyata semakin jauh panggang daripada api. Tingkat ketulusannya biasanya dapat diukur dengan seberapa besar kocek yang masuk ke kantong pribadi. Sehingga tidak mengherankan apabila lembaga yang seharusnya terhormat, kemudian menjadi bulan-bulanan kritik dan caci-maki rakyat yang diwakilinya.

Privatisasi BUMN, yang memiliki peran strategis bagi eksistensi sebuah negara, merupakan hobi baru para pengambil kebijakan generasi ”pink” ini. Kekayaan alam yang melimpah lebih sering menjadi bencana bagi rakyat. Sedangkan para perusak lingkungan dan pencuri kelas kakapnya semakin nyaman dengan fasilitas Undang-undang dan Kepres.
Penjualan Indosat ke Temasek beberapa tahun lalu, menunjukkan bagaimana kepribadian negeri ini sekarang. Militer kita ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa pesawat. Dari segi teknologi Alutsista kita sangat ketinggalan, prajurit kita mungkin loyo untuk bertempur karena minimnya anggaran, toh masih tega juga gajinya di maling sama oknum di Asabri.

Menaikkan harga BBM yang mengakibatkan bertambahnya penderitaan rakyat kecil secara cepat dapat dilakukan sedangkan untuk menurunkannya kembali perlu beribukali berhitung, juga salah-satu dari kebiasaan pemerintahan generasi pink. Kebijakannya lebih suka bersifat tambal sulam dan motto-nya mengatasi masalah dengan masalah.
Dalam generasi ”pink” segala macam konsep dan terminologi sering tumpang-tindih. Menganut sistem presidensial atau parlementer kadang tidak begitu jelas. Negeri ini sering kita sebut tanah-air. Namun itu pun ternyata kabur. Sawah, ladang dan hutannya (tanah) kerap merugikan pemilik, lautannya (air) tidak mampu menyejahterakan nelayan.

Negeri yang subur tanahnya dan kaya lautannya. Menjadi negeri tanpa identitas: agraris tidak, maritim bukan, industrialis apalagi. Sosialisme tidak, Kapitalisme pun bukan, religius? nyatanya juga banyak pencuri.

Kembalikan Merah-Putih
Pemaknaan dan pemahaman kembali atas simbol-simbol bangsa mutlak diperlukan. Bukan hanya sebagai romantika sejarah yang kadang dibumbui secara melankolis, namun patut dijadikan acuan harus kemana bangsa ini menuju. Sebagaimana yang dikatakan Alexis de Tocqeuville (1945) kegagalan kita memahami masa depan, membuat manusia mengembara dalam kabut.

Tak bisa dipungkiri, negeri ini sedang kolaps kehilangan spirit dan arah. Isu-isu separatisme dan disintegrasi yang muncul harus dipahami sebagai reaksi wajar dari kegagalan pusat dalam mengontrol dan memakmurkan periferi. Kegagalan negara dalam mencari bangsa, memahami dan mengaplikasikan merah-putih dan kegagalan para pemimpin dalam merumuskan dan mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara.

Kalau NKRI merupakan harga mati, maka merah-putih harus kita kibarkan sekali lagi dan untuk selama-lamanya. Dengan kebijakan berorientasi pada kepentingan rakyat (mikro) bukan melulu pemilik modal (makro). Hukum kerap mandul terhadap koruptor kelas kakap dan pembalak liar, namun ”gagah-berani” dalam menggusur kaki lima.
Pemilu 2009 di depan mata, bagi anda yang sedikit optimis dan sangat narsis, dengan menjual tampang lewat iklan, berniat mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri ini, sepatutnya bertanya pada diri sendiri, adakah merah-putih di dadamu....

Tidak ada komentar: