Minggu, 04 Januari 2009

Kota Seribu Polisi Tidur


Oleh: Noval Maliki

Bagi anda yang menyukai travelling atau hanya sekedar jalan sore beberapa tahun lalu, mungkin menempatkan Jogja dalam deretan paling atas sebagai prioritas untuk di kunjungi. Kondisi masyarakatnya yang terpelajar dan bersahabat, lalu lintasnya yang relatif tenang, suasana kotanya yang never-ending dan temaram lampu malam yang menghiasi kota nan sulit dilupakan. Tidak mengherankan apabila banyak musisi yang mengabadikannya dalam berbagai tembang yang melegenda dan akrab di telinga.

Namun jalanan Jogjakarta sudah banyak berubah beberapa tahun terakhir. Meningkatnya aktivitas pedagang kaki lima yang menggunakan ruas-ruas trotoar sehingga sedikit mengganggu pejalan kaki, padatnya arus lalu lintas yang diakibatkan bertambahnya volume kendaraan bermotor yang tidak terkontrol dan satu hal lagi yang unik adalah tumbuh suburnya “polisi tidur” di berbagai jalan mulai kelas arteri hingga di gang-gang sempit.

Hebatnya lagi pembuatannya biasa dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri entah lewat dana swadaya atau individu. Bentuknya pun bermacam-macam, ada yang hanya memiliki ketinggian satu-dua sentimeter, namun tidak sedikit pula mencapai lima sentimeter bahkan lebih. Tentu saja hal ini selain dapat merusak kendaraan, bahkan membahayakan para pengendara kendaraan roda dua, namun juga mengurangi kenyamanan dalam berkendara.

Ironi Kota Pelajar
Tidak ada data maupun catatan resmi berapa persisnya jumlah “polisi tidur” di Jogjakarta, namun menurut pengamatan penulis secara akumulatif angkanya mencapai ratusan bahkan mungkin mencapai empat digit alias mencapai ribuan.

Fungsi sebuah “polisi tidur” pada awalnya hanya untuk menjaga kesadaran para pengendara dari serangan kantuk yang bisa membahayakan jiwa baik diri sendiri maupun orang lain. Biasanya dapat kita jumpai di jalan bebas hambatan atau yang populer disebut jalan tol (free-way). Bentuknya tidak terlalu tinggi namun berjajar secara paralel dalam satu rangkaian yang terdiri dari empat atau lebih “polisi tidur”.

Belakangan dalam perkembangannya, bentuk dan fungsi “polisi tidur” tersebut mengalami pergeseran, bukan lagi hanya sebagai sarana untuk menjaga kesadaran para pengendara agar tetap konsentrasi dalam mengemudi, namun menjadi media komunikasi (baca: rambu lalu-lintas/pesan) yang terbilang cukup efektif dari warga pinggir jalan kepada para pengendara agar mengurangi kecepatan.

Media “polisi tidur” digunakan dikarenakan media konvensional yang telah ada seperti rambu-rambu lalu-lintas sudah tidak mampu menjalankan fungsinya untuk mengingatkan para pengendara tersebut. Entah karena memang tidak memahami makna rambu tersebut atau bertindak masa bodoh dengan aturan, peringatan dan kepentingan orang lain.

Selain itu, maraknya “polisi tidur” mengindikasikan dua hal: pertama, masyarakat Jogja yang terkenal santun dan ramah tengah mengalami pergeseran psikologis. Hal ini dapat kita lihat apabila pembuatan “polisi tidur” tersebut cenderung membahayakan para pengendara motor dikarenakan bentuknya yang demikian tinggi.

Pergeseran perilaku warga tersebut pada dasarnya dapat dipahami dikarenakan, kedua, sikap para pengendara motor yang mayoritas anak muda dari kalangan pelajar dan mahasiswa tersebut gagal memahami pesan secara resmi melalui rambu lalu-lintas sekaligus kurang memiliki etika di jalan raya layaknya orang terpelajar. Hasilnya adalah sikap ugal-ugalan, sakarepe dewe dan berperilaku di jalanan layaknya milik m’bahe. Sangat disayangkan bagi kota seanggun Jogja.

2 komentar:

M.Iqbal Dawami mengatakan...

Jadi inget candaan gusdur, bhw polisi yang baik itu ada dua orang:Polisi yang sudah almarhum dan "polisi tidur".

Tapi aneh oge val,geus dibere "pulisi tidur",eta motor tetep weh teu lalaunan, makana sok aya tulisan,NGEBUT BENJUT!

Noval Maliki mengatakan...

heu'ueh nya kua naon tah?