Jumat, 05 September 2008

Quo Vadis Pesantren?


Oleh: Noval Maliki
Penggiat Demi Buku Institute

Sangat tidak mudah memang mendefinisikan sebuah pesantren, ia tidak bisa dimaknai secara tunggal karena hal itu secara tidak langsung akan mereduksi makna dan peran pesantren di wilayah lain. Secara antropologis, pesantren bisa dibaca dalam berbagai aspek. Pesantren bisa dibaca: dalam kapasitasnya sebagai lembaga dan sistem pendidikan; dapat dikategorikan sebagai sub-kultur komunitas santri; signifikan dipetakan sebagai mazhab pemikiran keagamaan tradisional; cukup mewakili dipersonifikasikan sebagai bagian wujud sinkretisme Islam yang universal dengan budaya lokal Indonesia yang partikular; dan tidak salah dianggap sebagai representasi kepentingan akar rumput.

Secara politis, pesantren ibarat sebuah kerajaan kecil dengan kyai sebagi penguasa tunggal. Peran pesantren dalam percaturan politik nasional pun bukan hal baru. Dalam sejarahnya di Indonesia mungkin hanya pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mampu ‘bermain’ di wilayah politik. Sehingga tidak mengherankan apabila menjelang ‘musim’ pemilu, tidak sedikit partai politik yang ‘bersilaturahmi’ dengan pesantren.

Sejarah juga membuktikan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang tangguh, pada masa penjajahan ia tidak hanya tetap eksis sebagai sebuah lembaga pendidikan alternatif yang mampu dan mau mengakomodasi terhadap berbagai golongan, pesantren juga merupakan sebuah pusat peradaban dan menjadi simbol sekaligus basis resistensi terhadap kolonialisme Belanda. Dus, eksistensi pesantren merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari sistem pendidikan nasional sekaligus sebagai living museum menilik nilai historisnya.

Namun, geliat modernisme dan globalisasi semakin membuncah dan sampai disetiap lorong-lorong peradaban muka bumi ini, wabah tersebut juga merasuk ke dalam berbagai bidang kehidupan manusia termasuk lembaga pendidikan yang pada akhirnya pusaran badainya sampai pada menara gading lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yakni pondok pesantren. Pengaruh modernisasi dan globalisasi dalam dunia pesantren dapat dilihat dari maraknya pendirian sekolah-sekolah formal seperti SD/MI, SMP/MTS, SMU/SMK/MA bahkan perguruan tinggi di lingkungan pesantren baik otonom atau berstatus negeri maupun secara integral berada dalam hierarki kepengurusan pesantren itu sendiri.

Berbeda dengan lembaga pendidikan lain, daya jual sebuah pesantren bukan hanya terletak pada kekuatan kurikulum maupun sistem pengajaran yang ditawarkan, namun yang tak kalah penting adalah figur sentral seorang pemimpinnya yaitu sang kyai. Figur-figur kyai kharismatik, alim dan shalih yang dimiliki pesantren seperti khadlalaratus syaikh K.H.Hasyim Asyari sang founding father pesantren Tebu Ireng, Mbah Manaf di Lirboyo, Mbah Munawwir dari Krapyak, K.H. Bisri Mustofa dari Rembang dan banyak lagi yang lainnya, kemudian menjadi nama-nama favorit yang secara tidak langsung mampu mengangkat popularitas pesantren yang diasuh.

Namun seiring dengan perkembangan jaman harus diakui figur-figur tersebut kian langka dan jarang kita temukan saat ini, padahal di tengah arus kuat globalisasi pesantren mau tidak mau dituntut agar mampu memproduksi lulusan-lulusan yang secara keilmuan sangat mumpuni dan mampu bersaing dengan produk-produk lembaga pendidikan keagamaan yang lain baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, kaum Wahabiyyin yang secara vulgar sering menyerang tradisi kalangan pesantren seperti ziarah kubur, tahlil, shalawat dan lain sebagainya, telah sampai menginjakkan kakinya di nusantara ini.

Menghadapi modernisasi-globalisasi ini menurut hemat penulis dunia pesantren tidak punya pilihan lain selain ikut andil didalamnya, karena modernisasi-globalisasi sendiri bukan lagi sebuah pilihan namun adalah realitas yang harus dihadapi. Berhenti ataupun melawan berarti memilih digilas dan terkapar ditinggalkan gerbong peradaban jaman yang semakin melaju kencang.

Kendati demikian hal itu bukan berarti pesantren secara sporadis meninggalkan tradisi keilmuannya yang luhur dan telah terjaga, karena modernitas juga mampu memperkaya tradisi keilmuan yang ada di pesantren itu sendiri, hal ini terjadi apabila pesantren mau bersikap akomodatif-selektif dan mampu merespons tantangan yang dihadapi secara positif, sejalan dengan kaidah ushul-fiqh: al-muhafadhatu ala qadimish shalih wal akhzdu bil jadidil ashlah yang populer dikalangan pesantren itu sendiri.

Secara epistemik tradisi bayani ,yang bertumpu pada rasionalitas teks, sangat kuat di dunia pesantren dengan penguasaan literatur-literatur klasik atau yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning merupakan kekayaan pesantren yang tak ternilai dan masih dipertahankan secara kuat hingga saat ini. Sedangkan tradisi Irfani dapat terlihat dalam jejaring tarekat-tarekat sufi yang variatif dan merupakan penekanan akan aspek esoteris dalam Islam juga merupakan tidak bisa dilepaskan dari tradisi pesantren yang telah berabad-abad dilestarikan di Indonesia.

Kedatangan modernitas yang lebih mewakili tradisi Burhani, tradisi yang lebih mengagungkan superioritas rasio atau akal an sich, dalam modernitas fungsi dan peranan akal ini dapat terlihat dengan perkembangan teknologi yang luar biasa pesatnya. Sehingga penghargaan manusia terhadap wilayah bayanian dan irfanian akan tereduksi. Hal inilah yang disinyalir akan menggusur kemapanan tradisi pesantren yang telah eksis selama ratusan tahun.

Penguasaan atas tradisi bayani sebagai landasan tekstual keagamaan dan irfani yang mampu memperkaya spiritualitas manusia, tidak serta-merta membuat pesantren paripurna. Wilayah burhani-lah, menurut hemat penulis satu-satunya yang belum tersentuh dunia pesantren.

Pendirian sekolah-sekolah formal di lingkungan pesantren bisa jadi merupakan upaya kearah penguasaan atas rasionalisme (burhani) tersebut. Baik berupa re-interpretasi dan aktualisasi akan ajaran-ajaran yang ada dalam nalar bayan dan Irfan dalam konteks kekinian, maupun penguasaan arus informasi dan teknologi sebagai respons akan kebutuhan sekaligus tuntutan zaman. Sekali lagi tanpa harus mereduksi keberadaan pesantren itu sendiri, dengan kata lain penguasaan akan nalar bayanian dan irfani harus tetap dipertahankan.

Globalisasi yang terjadi juga bukan hanya memperkaya peradaban suatu bangsa namun juga berpotensi untuk merusaknya. Narkoba, minuman keras dan sex bebas yang menunjukkan peningkatan aktivitas dalam masyarakat Indonesia salah satu contoh konkrit dampak negatif globalisasi. Arus masuk budaya luar yang menerobos relung kehidupan masyarakat Indonesia dan membuat dunia seolah-olah tanpa batas sehingga manusia cenderung menjadi satu dimensi (one dimentional man).

Selain itu, modernitas dan globalisasi yang datang ternyata bukan hanya menawarkan kemajuan dalam bidang sains dan teknologi saja, namun ia juga membawa sampah peradaban yang ‘polutif’. Kemenangan rasionalitas selain mampu mengantarkan peradaban manusia ke tingkat yang mencengangkan juga memiliki ironi yang menyedihkan; kemajuan di bidang teknologi ternyata menimbulkan kehampaan spiritualitas pada manusia modern.

Dalam konteks seperti inilah eksistensi pesantren memiliki peranan yang sangat besar dan diharapkan mampu menetralisir karbon modernitas tersebut. Kepemimpinan pesantren yang bercorak tradisional, yang dalam banyak hal kerap menggunakan keunggulan charisma kyainya, sehingga oleh sebagian pengamat sering disebut feodalistik melalui pola relasi semacam patron-client. Akan tetapi independensinya dalam kurikulum tak tertandingi oleh lembaga pendidikan manapun di Indonesia. Demikian juga, sungguhpun kyai itu menjadi bagian dari lapisan elitisme sosial-keagamaan, namun etos populisme dan kedekatannya dengan masyarakat bawah (grassroot society) merupakan modal besar sebagai agen transformatif yang bahkan pejabat pemerintahanpun tidak mampu menyamainya. Namun semuanya tentu saja berpulang kepada pera pemimpin pesantren (kyai) itu sendiri.
Wassalam.....

Tidak ada komentar: