
Judul Buku: Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia
Penulis: Mohammad Amien Rais
Penerbit: PPSK Press
Cetakan: ekstra, 2008
Tebal: 298+xviii halaman
Kolonialisasi yang dipraktikkan selama 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang terhadap bangsa Indonesia nampaknya tidak pernah membuatnya jera dan berusaha merdeka secara paripurna, sebaliknya perilaku elitnya seolah merindukan masa tergelap dalam sejarah Indonesia tersebut. Gelagat ini setidaknya tercermin dari beberapa transaksi ekonomi, maupun politik, yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan beberapa korporasi asing.
Menariknya, praktik tersebut justru bukan terjadi pada masa konsolidasi, Orde Lama, maupun hanya pada masa Orde Baru yang identik dengan era ketertutupan penuh praktik manipulatif terhadap rakyat, “kegilaan” ini justru terus langgeng hingga pada masa keterbukaan, Reformasi. Modus operandinya jauh lebih canggih daripada masa-masa sebelumnya. Dulu dengan moncong senjata, kini lewat iklan media massa. Dulu kolonialisasi, kini globalisas.
Kolonialisme bercirikan tiga hal: pertama, ada kesenjangan kemakmuran antara negara penjajah dan yang terjajah. Kedua, hubungan antara keduanya bersifat eksploitatif dan menindas. Ketiga, negara terjajah, sebagai pihak yang lemah, kehilangan kedaulatan dalam arti luas. (hlm. 20-21). Ketiga ciri tersebut selaras dengan realitas globalisasi ekonomi dewasa ini, tidak mengherankan apabila Bung Karno jauh-jauh hari telah menyamakan globalisasi ini dengan neo-kolonialisme.
Penulis: Mohammad Amien Rais
Penerbit: PPSK Press
Cetakan: ekstra, 2008
Tebal: 298+xviii halaman
Kolonialisasi yang dipraktikkan selama 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang terhadap bangsa Indonesia nampaknya tidak pernah membuatnya jera dan berusaha merdeka secara paripurna, sebaliknya perilaku elitnya seolah merindukan masa tergelap dalam sejarah Indonesia tersebut. Gelagat ini setidaknya tercermin dari beberapa transaksi ekonomi, maupun politik, yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan beberapa korporasi asing.
Menariknya, praktik tersebut justru bukan terjadi pada masa konsolidasi, Orde Lama, maupun hanya pada masa Orde Baru yang identik dengan era ketertutupan penuh praktik manipulatif terhadap rakyat, “kegilaan” ini justru terus langgeng hingga pada masa keterbukaan, Reformasi. Modus operandinya jauh lebih canggih daripada masa-masa sebelumnya. Dulu dengan moncong senjata, kini lewat iklan media massa. Dulu kolonialisasi, kini globalisas.
Kolonialisme bercirikan tiga hal: pertama, ada kesenjangan kemakmuran antara negara penjajah dan yang terjajah. Kedua, hubungan antara keduanya bersifat eksploitatif dan menindas. Ketiga, negara terjajah, sebagai pihak yang lemah, kehilangan kedaulatan dalam arti luas. (hlm. 20-21). Ketiga ciri tersebut selaras dengan realitas globalisasi ekonomi dewasa ini, tidak mengherankan apabila Bung Karno jauh-jauh hari telah menyamakan globalisasi ini dengan neo-kolonialisme.